Analisis mendalam revisi UU ITE tahun 2025. Mengupas pasal-pasal krusial, dampak pada kebebasan, dan perlindungan data.
Pada penghujung tahun 2025, ruang publik Indonesia kembali dihangatkan oleh perdebatan sengit mengenai revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hukum yang awalnya dirancang untuk mengatur kejahatan siber ini telah bertransformasi menjadi salah satu undang-undang paling kontroversial, sering kali dituding sebagai alat pembungkam kritik dan penghambat kebebasan berekspresi. Revisi yang diinisiasi oleh pemerintah dan parlemen kali ini bertujuan untuk menghilangkan "pasal-pasal karet" yang multitafsir, sambil sekaligus menguatkan payung hukum untuk perlindungan data pribadi dan kejahatan siber yang semakin canggih.
Namun, di sinilah letak dilemanya: apakah revisi ini benar-benar membawa angin segar bagi kebebasan sipil, atau justru menambahkan pasal-pasal baru yang lebih kuat yang dapat membatasi ruang gerak warganet? Diskusi ini bukan sekadar urusan hukum, melainkan pertaruhan serius antara kebutuhan negara untuk menjamin keamanan digital (termasuk perlindungan data) dan hak fundamental warga negara untuk berpendapat dan berekspresi secara bebas di dunia maya.
Akar Masalah UU ITE Lama dan Urgensi Revisi
UU ITE yang lama, terutama yang disahkan pada tahun 2008 dan direvisi terbatas pada 2016, menuai kritik tajam karena implementasi pasal-pasal tertentu. Kritik terbesar diarahkan pada Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik, yang sering digunakan untuk mempidanakan individu karena kritik, ulasan, atau bahkan meme di media sosial. Pasal ini dijuluki "pasal karet" karena interpretasinya sangat luas, membuka peluang penyalahgunaan oleh pihak yang merasa dirugikan, termasuk pejabat publik.
Urgensi Revisi 2025 muncul dari dua kebutuhan mendesak:
- Reformasi Pidana Digital: Menanggapi desakan publik untuk mendekriminalisasi atau setidaknya memperjelas batas-batas pencemaran nama baik, sehingga kritik terhadap kebijakan publik tidak lagi diancam hukuman penjara.
- Adaptasi Kejahatan Siber: Kejahatan siber telah berevolusi dari sekadar hacking menjadi serangan data masif dan scam yang canggih. Undang-undang perlu diperbarui agar memiliki gigi dalam menindak kejahatan yang melampaui yurisdiksi tradisional. Selain itu, revisi ini juga perlu bersinergi dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah disahkan, memastikan sanksi yang saling melengkapi.
Analisis Pasal-Pasal Krusial dalam Revisi Terbaru (2025)
Perhatian utama dalam revisi kali ini tertuju pada perubahan rumusan pasal-pasal yang paling sering bermasalah.
Pasal Pidana Defamasi/Pencemaran Nama Baik
Dalam draf revisi 2025, terdapat upaya untuk meredusi ancaman pidana penjara untuk kasus pencemaran nama baik. Beberapa usulan menggeser delik ini menjadi delik aduan yang lebih ketat, atau bahkan mengarah pada penyelesaian di luar jalur pidana (mediasi). Namun, kelompok masyarakat sipil menuntut agar pasal ini sepenuhnya dicabut dari UU ITE dan dikembalikan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan revisi yang lebih humanis. Perdebatan berkisar pada: apakah pengurangan hukuman cukup untuk menjamin kebebasan, atau justru masih menyisakan celah bagi pemidanaan.
Pasal Berita Bohong (Hoax) dan Ujaran Kebencian
Pasal tentang penyebaran informasi bohong dan ujaran kebencian juga diperketat. Tujuannya adalah melindungi masyarakat dari disinformasi masif yang dapat memicu perpecahan sosial, terutama di tengah iklim politik yang memanas. Namun, tantangan terbesarnya adalah definisi. Bagaimana membedakan antara hoax yang disengaja dengan sindiran atau satire yang merupakan bagian dari kebebasan berekspresi? Kelompok oposisi dan jurnalis khawatir bahwa pasal-pasal ini akan menjadi alat politik baru yang digunakan untuk membungkam narasi tandingan.
Penegasan Perlindungan Data Pribadi (Sinergi dengan UU PDP)
Salah satu aspek positif yang diharapkan dari revisi ini adalah penegasan sanksi pidana untuk pelanggaran data pribadi. Meskipun Indonesia sudah memiliki UU PDP, revisi UU ITE diharapkan dapat memberikan lapisan perlindungan tambahan dan sanksi yang lebih tegas, terutama bagi individu yang melakukan penyalahgunaan data untuk penipuan atau kejahatan siber lainnya, di luar lingkup korporasi yang diatur oleh UU PDP. Sinergi ini krusial untuk menciptakan ekosistem digital yang aman.
Dilema Digital: Menyeimbangkan Dua Kutub Kepentingan
Revisi UU ITE adalah sebuah manifestasi dari dilema hak digital.
Sisi Perlindungan (Keamanan Digital)
Negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari ancaman siber. Tanpa hukum yang kuat, Indonesia akan menjadi sasaran empuk bagi hacker, pelaku phising, dan cyberbullying yang merusak integritas sosial. Regulasi yang kuat adalah prasyarat bagi tumbuhnya ekonomi digital yang aman, di mana konsumen merasa nyaman bertransaksi dan berinteraksi.
Sisi Kebebasan (Ekspresi Digital)
Sebaliknya, kebebasan berekspresi adalah roh demokrasi. Kritik terhadap pemerintah, pengungkapan kasus korupsi, atau sekadar komentar di media sosial, adalah bagian dari partisipasi publik. Jika revisi ini masih menyisakan pasal-pasal yang mengancam hukuman pidana bagi kritik, maka akan timbul efek gentar (chilling effect)—
Credit :
Penulis : Brylian Wahana
Gambar oleh VBlock dari Pixabay
Komentar