Indonesia adalah sebuah mozaik raksasa yang terukir dari ribuan pulau, ratusan suku, beragam bahasa, dan keyakinan yang berbeda. Di tengah...
Indonesia adalah sebuah mozaik raksasa yang terukir dari ribuan pulau, ratusan suku, beragam bahasa, dan keyakinan yang berbeda. Di tengah keragaman yang begitu kaya, terdapat satu semboyan sakti yang menjadi perekat dan fondasi bangsa: "Bhinneka Tunggal Ika." Semboyan ini bukan sekadar frasa puitis, melainkan sebuah filosofi hidup yang telah teruji oleh zaman, dari masa kerajaan kuno hingga tantangan disrupsi di era modern. Memahami Bhinneka Tunggal Ika berarti menyelami esensi dari persatuan yang dibangun di atas fondasi perbedaan.
Dari Kitab Kuno hingga Semboyan Negara: Menelusuri Sejarah Bhinneka Tunggal Ika
Jejak "Bhinneka Tunggal Ika" bukanlah gagasan baru yang muncul di era kemerdekaan. Semboyan ini memiliki akar sejarah yang kuat, tercantum dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14, di masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Dalam sebuah baitnya, Mpu Tantular menulis, "Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa," yang artinya "Berbeda-beda itu, tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua." Frasa ini mencerminkan sikap toleransi beragama yang sudah berkembang sejak dahulu, khususnya antara penganut Hindu Siwa dan Buddha.
Pada masa kemerdekaan, para pendiri bangsa menemukan relevansi yang sangat kuat dari semboyan kuno ini. Di tengah perdebatan sengit tentang ideologi negara, Mohammad Yamin mengusulkan frasa ini untuk diabadikan. Ia melihat bahwa semboyan ini sangat ideal untuk menggambarkan kondisi Indonesia yang majemuk. Akhirnya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi sebagai semboyan negara dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950, dan kemudian menjadi lambang negara Garuda Pancasila. Penggunaan semboyan ini menjadi pengakuan bahwa Indonesia, dengan segala perbedaannya, adalah satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan.
Makna Filosofis: Mengupas Inti Persatuan dalam Keberagaman
Secara harfiah, Bhinneka Tunggal Ika memiliki makna yang sangat dalam dan relevan:
- Bhinneka berarti "berbeda-beda." Ini merujuk pada realitas sosiologis Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa, ribuan bahasa, beragam agama, kepercayaan, adat istiadat, dan budaya. Perbedaan ini bukan menjadi sumber perpecahan, melainkan kekayaan yang tak ternilai.
- Tunggal berarti "satu." Kata ini menegaskan bahwa meskipun berbeda-beda, masyarakat Indonesia tetap merupakan satu kesatuan bangsa yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama.
- Ika berarti "itu." Kata ini berfungsi sebagai penegas bahwa kesatuan tersebut ada dan nyata.
Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika adalah landasan filosofis yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah keniscayaan, tetapi persatuan adalah pilihan sadar dan komitmen kolektif. Ia bukan sekadar konsep toleransi, melainkan sebuah pengakuan terhadap eksistensi setiap perbedaan, dengan keyakinan bahwa semua elemen tersebut saling melengkapi untuk membentuk Indonesia yang lebih kuat. Ini tercermin dalam nilai-nilai luhur seperti musyawarah untuk mufakat, gotong royong, dan rasa kekeluargaan yang telah menjadi bagian dari identitas bangsa.
Tantangan Abadi: Menguji Persatuan di Era Kontemporer
Seiring berjalannya waktu, semangat Bhinneka Tunggal Ika terus diuji oleh berbagai tantangan, terutama di era kontemporer.
- Disrupsi Digital dan Hoaks: Perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, telah menciptakan ruang yang subur bagi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Narasi-narasi provokatif yang menargetkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) mudah menyebar dan menciptakan polarisasi. Masyarakat seringkali terperangkap dalam "echo chamber" di mana mereka hanya terpapar informasi yang sesuai dengan keyakinannya, sehingga mengikis semangat toleransi dan dialog.
- Radikalisme dan Intoleransi: Di beberapa wilayah, munculnya kelompok-kelompok yang mengusung ideologi ekstrem dan menolak keberagaman telah mengancam keutuhan bangsa. Tindakan intoleransi, baik dalam bentuk fisik maupun verbal, menjadi ancaman nyata terhadap semangat Bhinneka Tunggal Ika. Mereka menginterpretasikan perbedaan sebagai ancaman, bukan kekayaan, dan berupaya memaksakan pandangan tunggal.
- Politik Identitas: Dalam kontestasi politik, isu SARA seringkali digunakan sebagai alat untuk meraih dukungan. Politik identitas dapat menajamkan perbedaan, memecah belah masyarakat, dan mengabaikan substansi dari permasalahan bangsa. Hal ini merusak fondasi persatuan yang dibangun oleh para pendiri negara dan mengikis kepercayaan antarumat beragama atau antarkelompok masyarakat.
Merawat Bhinneka Tunggal Ika: Tugas Kolektif di Era Modern
Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, Bhinneka Tunggal Ika tidak boleh hanya menjadi semboyan yang dihafal, tetapi harus dihidupkan kembali dalam setiap aspek kehidupan. Merawat persatuan adalah tanggung jawab kolektif yang melibatkan semua pihak.
- Peran Pemerintah: Pemerintah harus menjadi garda terdepan dalam menjaga keberagaman. Ini bisa diwujudkan melalui kebijakan yang inklusif, penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan intoleransi dan penyebaran hoaks, serta program-program pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan sejak dini. Kurikulum pendidikan harus diperkaya dengan materi tentang sejarah, budaya, dan keberagaman Indonesia.
- Peran Pendidikan dan Keluarga: Pendidikan formal dan informal memegang peranan krusial. Sekolah dan keluarga harus menjadi tempat pertama di mana anak-anak diajarkan tentang pentingnya menghargai perbedaan, empati, dan toleransi. Lingkungan yang toleran akan membentuk generasi muda yang tidak mudah terprovokasi dan mampu berinteraksi secara positif dengan siapa pun.
- Peran Masyarakat dan Tokoh Komunitas: Komunitas lokal, tokoh agama, dan tokoh masyarakat memiliki kekuatan besar untuk menjadi jembatan antarperbedaan. Mereka dapat berperan sebagai mediator, menginisiasi dialog, dan mempromosikan kegiatan-kegiatan gotong royong yang melibatkan berbagai kelompok. Inisiatif dari bawah ke atas ini seringkali lebih efektif dalam membangun rasa persaudaraan yang kuat.
- Peran Media (Biz Media): Sebagai perusahaan media, kita memiliki peran vital dalam menyebarkan narasi positif. Media harus menjadi platform yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya literasi digital, melawan hoaks, dan mempromosikan konten-konten yang memperkuat persatuan, seperti kisah-kisah inspiratif tentang toleransi, keberhasilan kolaborasi antarbudaya, dan kekayaan tradisi lokal. Dengan demikian, media tidak hanya menjadi penyampai informasi, tetapi juga penjaga pilar-pilar kebangsaan.
Kesimpulan: Bhinneka Tunggal Ika sebagai Kompas Bangsa
Pada akhirnya, Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah komitmen. Ia adalah pengingat bahwa keunikan setiap individu, setiap suku, dan setiap keyakinan bukanlah alasan untuk berpecah, melainkan alasan untuk bersatu. Di tengah arus globalisasi dan tantangan disrupsi digital yang kian kompleks, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus digelorakan. Dengan kesadaran kolektif untuk menghargai, merawat, dan mempraktikkan nilai-nilainya, Indonesia akan terus berdiri kokoh sebagai bangsa yang bersatu, kuat, dan maju.
Komentar